
Untuk Kevin Shafer, kehidupannya di th. 2008 baik-baik saja. Pria berumur 27 th. ini mempunyai karir dalam bagian akademik, menikah, serta menunggu anak pertamanya. Ia mempunyai histori depresi, namun bisa dikendalikan. " Saya tengah dalam keadaan yang baik-baik saja, " tuturnya.
Lalu, istrinya melahirkan seseorang anak lelaki. " Saya memandangnya di ruang tempat tinggal sakit, serta saya cemas, " narasi Shafer yang disebut asisten profesor pekerjaan sosial di Brigham Young University, Utah, Amerika Serikat.
" Mendadak saya rasakan sangat banyak desakan untuk jadi tambah baik lagi dalam pekerjaan, bertindak jadi bapak, serta jadi suami yang baik. Segalanya itu betul-betul membuatku kewalahan di waktu yang sama, " lanjutnya.
Bukannya terasa bahagia dengan kelahiran putranya, Shafer malah semakin banyak berdiam diri, bahkan juga terasa begitu takut untuk menggendong serta takut untuk lakukan apapun. " Seperti lumpuh, " tuturnya.
Riset tunjukkan kalau 5 dari 10 bapak baru alami depresi, dibanding sekitaran 15 % dari ibu baru. Riset yang lain yang dipublikasikan dalam Pediatrics menguraikan, tanda-tanda depresi bapak baru bertambah rata-rata 68 % sepanjang lima th. pertama kehidupan anak mereka.
" Dahulu kita menduga depresi pascakelahiran adalah sistem biologis serta hormonal yang cuma memengaruhi wanita. Nyatanya, tidak cuma wanita saja. Ada aspek biologis, psikologis, serta sosial, " tutur David Diamond, direktur Center for Reproductive Psychology di San Diego, AS.
Menanggung derita diam-diam
Pria dengan kisah keadaan mental mempunyai resiko lebih tinggi depresi sesudah jadi bapak.
" Untuk sebagian bapak baru, kurang tidur, kurang kontrol, dan kurangnya kebiasaan cukup untuk bikin mereka jadi depresi, " tutur Dr. Craig Garfield yang memimpin studi Pediatrics masalah tanda-tanda depresi.
Orang-tua yang mempunyai peran ganda resikonya juga semakin besar alami depresi. Berdasar pada satu riset pada th. 2013 dari 6. 000 lebih keluarga, bapak tiri dengan anak baru serta anak biologis yg tidak tinggal satu atap mempunyai resiko paling tinggi.
" Mereka terasa seperti tertarik dalam arah yang tidak sama lantaran tak beberapa orang di sekitarnya sebagai bapak biologis yang tidak miliki rumah, " ucap Shafer.
Bapak baru dapatlah rawan pada depresi lantaran kekurangan support sosial yang umumnya seringkali diperoleh beberapa wanita.
" Beberapa orang bakal mendatangi wanita hamil di jalan serta bertanya berita mereka, dan mengulas mengenai kehamilan mereka sendiri serta hal yang lain. Bapak tak kerap alami itu. Bapak dapat menanggung derita dengan cara diam-diam lantaran tak ada manifestasi dari kehamilan ini, " jelas Shafer.
Kurangnya support dari lingkungan sosial bakal bikin seorang lebih stres serta depresi. Parahnya, beberapa pria umumnya tidak pernah terbuka bercerita masalahnya serta berupaya tampak tangguh.
Hal yang makin jadi memperburuk kondisi, pakar kesehatan mental kerap meremehkan depresi pascakelahiran pada pria lantaran gejalanya tidak selamanya tampak sama dengan wanita.
Tanda-tanda depresi, dapat mewujud jadi perasaan tak bernilai, sedih, atau bahkan juga somatik seperti kegelisahan atau tidur banyak, dan pergantian selera makan. Namun pada pria gejalanya kerap tak seperti itu.
Pria seringkali terasa gampang tersinggung atau geram, menyalahgunakan obat-obatan atau alkohol, hindari keluarga dengan menggunakan saat di kantor atau berbarengan rekan.
Terdapat beberapa langkah yang dapat dikerjakan untuk melalui rasa sedih itu. Bicara serta mencurahkan perasaa pada orang yang diakui yaitu satu diantaranya.
Mengambil cuti sepanjang sekian hari sesudah kelahiran anak serta berupaya menggunakan saat semakin banyak untuk menolong istri dapat juga menolong kurangi perasaan tak bermakna. (FKC/Terbeken)