
Dusun
Sebaluh terletak di desa Pandesari terletak di wilayah Kecamatan Pujon,
Kabupaten Malang, Provinsi Jawatimur, Indonesia.
Kata "punden" (atau pundian)
berasal dari bahasa jawa. Kata pepunden yang berarti "objek-objek
pemujaan" mirip pengertiannya dengan konsep kabuyutan pada
masyarakat Sunda. Dalam punden berundak, konsep dasar yang dipegang adalah para
leluhur atau pihak yang dipuja berada pada tempat-tempat tinggi (biasanya
puncak gunung). Istilah punden berundak menegaskan fungsi
pemujaan/penghormatan atas leluhur, tidak semata struktur dasar tata ruangnya.
Punden berundak adalah salah satu hasil
budaya Indonesia pada zaman megalitik (megalitikum) atau zaman batu besar.
Punden berundak merupakan bangunan yang tersusun bertingkat dan berfungsi
sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Punden Berundak pada zaman megalitik selalu
bertingkat tiga yang mempunyai makna tersendiri. Tingkat pertama melambangkan
kehidupan saat masih dikandungan ibu, tingkat kedua melambangkan kehidupan
didunia dan tingkat ketiga melambangkan kehidupan setelah meninggal.
Sebuah prasasti yang diperkirakan ditulis
antara abad 9-10 silam, ditemukan di Desa Sebaluh, Kecamatan Pujon, Kabupaten
Malang.
Tulisan-tulisan yang ada di prasasti tidak
bisa tertata karena terpecah menjadi 15 bagian
Prasasti tersebut diperkirakan dibuat pada
abad 9 atau 10 karena struktur batu maupun tulisan, bentuknya sama seperti
Prasasti Songgoriti dan Turian (Turen). Penulis prasasti itu sama dan
dikerjakan sejak zaman Mpu Sindok atau Mpu Supo.
Prasasti tersebut sebagai tanda jika
kawasan Sebaluh dan sekitarnya, merupakan daerah pertanian yang subur sejak
zaman dahulu. Hal itu ditandai dengan keberadaan lingga dan yoni, yang
ditemukan bersamaan dengan prasasti.
Sedangkan di kawasan Songgoriti, Kota Batu,
juga sudah menjadi pusat pertapaan sejak zaman sebelum lahirnya Kerajaan
Singosari maupun Majopahit.
Indikasi sebagai tempat pertapaan, dengan
temuan patung Betoro Guru yang ada di sekitar prasasti. ‘
Prasasti Turian juga dilengkapi lingga dan Yoni atau
lambang kelamin pria dan wanita yang artinya juga disebut lambang kesuburan.
Hal itu menandakan jika daerah tersebut (Turen) sebagai daerah pertanian yang
subur sejak dahulu. Keberadaan prasasti-prasasti seperti ini, untuk membedakan
peruntukan sebuah kawasanTulisan dalam prasasti itu, menggunakan Aksara Pallawa atau kadangkala ditulis sebagai Pallava adalah sebuah aksara yang berasal dari India bagian selatan. Aksara ini sangat penting untuk sejarah di Indonesia karena aksara ini merupakan aksara dari mana aksara- aksara diturunkan.
Nama aksara ini berasal dari Dinasti Pallava yang pernah berkuasa di selatan India antara abad ke-4 sampai abad ke-9 Masehi. Dinasti Pallava adalah sebuah dinasti yang memeluk aliran Jainisme.
Tidak disebutkan kapan pastinya prasasti tersebut dibuat, hingga datang seorang satria untuk melakukan semedi, satria itu bernama Ki Ageng Hajar Seguh.
Sedangkan kata Sebaluh menurut isi prasasti berasal dari nama Raden Roro Galuh atau Putri Segaluh, Putri Raja Kerajaan Daha Kediri, yang kebetulan saat itu jenuh dan ingin berjalan ditaman dengan ditemani dua dayang atau pembantunya, namun angin besar menerbangkan hingga ke hutan lebat dan sampai ditempat pertapaan Ki Ageng Hajar Seguh.
Putri Segaluh sempat dikeroyok kawanan kera dan berhasil diselamatkan oleh anjing milik Raden Mantri dari Kerajaan Kahuripan atau Koripan, dan ada seekor monyet besar yang hampir membunuh putri Segaluh, namun berhasil dikalahkan oleh Ki Ageng Hajar Seguh.
Putri Segaluh akhirnya memberikan hadiah lapak atau meja untuk sesaji ditempat pertapaan tersebut.
Menurut prasasti tersebut ditempat itulah Ki Ageng Hajar Seguh menjadi saksi perjodohan Putri Segaluh dengan Raden Mantri dan akhirnya Putri Segaluh Menikah dengan Raden Mantri dari Kerajaan Kahuripan atau Koripan di Kadiri.
Sebagai wujud hormat kepada putri Seorang Raja, Maka dinamakan lokasi desa dimana ada tempat Pertapaan itu menjadi Segaluh yang kelak berubah nama menjadi Sebaluh.
Sedangkan Isi lain dari Prasasti itu adalah penetapan Sebaluh menjadi desa perdikan (merdeka) serta juga ada terkait bangunan suci tempat pertapaan itu.
Diperkirakan, waktu itu desa Sebaluh ditetapkan sebagai desa perdikan, karena Ki Ageng Hajar Seguh berhasil menyelamatkan Putri Segaluh yang juga anak dari Putri Raja, sehingga desa tersebut dibebaskan dari pajak oleh kerajaan.
Ki Ageng Hajar Seguh sendiri adalah satria dari kerajaan Daha Kadiri dan melakukan perjalanan menuju Singasari, hingga sampai di wilayah Pamujan (Pujon) dan lakukan Pertapaan disana.
Semoga
tulisan ini bisa menambah wawasan tentang Punden Ki Ageng Hajar Seguh atau yang
juga dikenal dengan nama Punden Sebaluh dan ini hanya sesuai dengan yang
tertulis di Prasasti yang ada, karena untuk cerita legenda dari masyarakat
banyak sekali versi yang beredar.
Oleh: Eric Dharma Sala – Pemerhati Sejarah